UBS Group AG menganjurkan para investor buat menjual rupee India serta kurangi kepemilikan mereka di saham- saham negeri tersebut. Divisi studi lembaga perbankan Swiss ini melaporkan kalau ekonomi India yang bernilai$4 triliun lagi hadapi perlambatan struktural. Penyusutan ini tidak diakibatkan oleh faktor- faktor siklus semacam fluktuasi harga minyak ataupun belanja pemerintah yang lamban.
Kelompok studi ini mengutip penyusutan jangka panjang dalam perkembangan kredit, investasi asing langsung, energi saing ekspor, serta kemampuan pemasukan selaku alasan- alasan perlambatan. Faktor- faktor ini diperkirakan hendak terus menjadi memburuk sehabis Donald Trump berprofesi selaku presiden AS.
Manik Narain, kepala studi strategi Pasar Tumbuh yang berbasis di London di UBS, menantang kepercayaan konvensional kalau India relatif terisolasi dari akibat kebijakan- kebijakan Trump dibanding dengan pasar- pasar tumbuh yang lain.
Dia menekankan kalau periode imbal hasil AS yang besar dalam jangka waktu yang lama bisa jadi tantangan untuk perkembangan India. Perihal ini diakibatkan oleh rasio utang terhadap pemasukan India yang besar, salah satu yang paling tinggi di antara pasar- pasar negeri tumbuh yang lain.
Sepanjang sebulan terakhir, saham- saham India sudah kehabisan nyaris$500 miliyar dari nilai pasarnya. Ini menandai dini tahun terburuk semenjak tahun 2016, bagi indeks MSCI Inc. buat negeri ini. Rupee India pula sudah menggapai rekor terendah berturut- turut terhadap dolar AS, menjadikannya mata duit dengan kinerja terburuk di Asia.
Tidak hanya itu, obligasi India hadapi arus keluar tercepat semenjak tahun 2020, sebab antusiasme atas inklusi mereka dalam indeks obligasi global memudar.